Malam Itu Bahagia Dan Luka

Malam Itu Bahagia Dan Luka

Zakiego

Zakiego

@zakiego

Jam menunjukkan awalan 00 dan berakhiran 20 ketika kalimat pertama ini sedang dituliskan. Lampu kamar telah lama dimatikan. Jalanan sepi. Lampu jalan hanya berteman dengan dinginnya malam, beberapa kali ia menyapa kendaraan yang lewat, entah untuk urusan apa.

Banyak raga yang telah larut dalam mimpinya. Terakhir, di sinilah detik berhenti sekarang. Terduduk di hadapan layar yang masih menyala.

Ada yang mengatakan, bahwa jarak terdekat seorang anak manusia dengan hatinya adalah ketika malam semakin larut.

Sulit sekali rasanya untuk tidak memercaiyainya. Sebab, semakin gelap malam, semakin sepi semesta, semakin sedikit hal-hal yang mendistraksi manusia, semakin mudah manusia untuk bisa berbicara dengan hatinya.

Berbincang dengan seseorang hingga lewat tengah malam adalah hal yang menyenangkan.

Rasanya, benar-benar seperti hati yang mengambil alih kekuasaan. Ia menari-nari sekehendaknya di dalam kepala.

Mengungkapkan hal-hal yang tidak pernah mungkin bisa dikatakan ketika matahari masih berada di atas kepala.


Malam adalah waktu terbaik untuk merayakan perasaan. Semuanya. Entah itu bahagia ataupun luka. Jika itu bahagia, maka bahagianya benar-benar terasa. Dan jika itu luka, maka lukanya benar-benar terasa nyata.

Rayakan semua perasaan yang terasa sekarang.

Karena tidak ada yang menjamin, besok, perasaan itu masih bisa dirasakan. Sekalipun untuk luka. Luka merupakan sebaik-baik bahan bakar untuk menulis.

Semakin banyak luka, semakin banyak tulisan yang bisa dilahirkan.

Terkadang, saya bahkan merindukan saat saya masih berkutat dengan luka, di sekujur perasaan. Menuliskan apa pun yang dimau. Kata-kata mengalir dengan mudahnya. Namun sekarang, luka-luka tersebut sudah sangat membaik. Akhirnya gerbang untuk merasakan luka itu sudah tertutup.

Hanya terbuka sesekali ketika tergores luka, namun jarang.