Untuk Anak Muda Egois Seperti Saya

Untuk Anak Muda Egois Seperti Saya

Zakiego

Zakiego

@zakiego

Selama beberapa minggu terakhir, tenaga dan pikiran saya terkuras untuk mempersiapkan tugas lapangan ini, bermalam dan melakukan penelitian di desa. Akibatnya, mungkin beberapa orang terdekat merasakan perlakuan saya yang kurang baik. Saya meminta maaf untuk itu. 🤍


Matahari saat itu tepat berada di atas kepala, bersinar terik-teriknya. Siang hari ke-22 bulan Ramadan. Dalam perjalanan menuju kembali ke kantor desa, setelah sedari pagi hari memutari dan mendatangi warga desa.

Rumah-rumah penduduk di sini berada lebih rendah dibanding jalan desa. Di sisi kiri jalan, terlihat seorang nenek sedang duduk di depan rumahnya. Sempat berpikir untuk melewatkannya, namun setelah melewati pergulatan pikiran, akhirnya memutuskan untuk memutar balik, dan mendatangi beliau.

Mungkin ini salah satu kekurangan saya, kelewat pe-ka, sampai berspekulasi berlebihan tentang perasaan seseorang. Takut merepotkan.

Setelah memarkirkan kendaraan, di luar dugaan, beliau menyambut dengan sangat ramah. Saya dan seorang teman kemudian ikut duduk di teras rumah beliau. Seperti biasa, percakapan dimulai dengan berbasa-basi, menanyakan sedang apa.

Di dekat beliau terdapat ulekan dengan daun yang sudah dihaluskan di atasnya, saya baru tahu, ternyata itu daun katuk, sebagai pewarna tape beras. Saking ramahnya, beliau sampai-sampai menawari untuk mencicipi tape ketan tersebut, “Kam sampai kapan di sini? Kena mun hari raya ke sini, lah.”, sayangnya, keesokan harinya saya sudah harus pulang. 🙂

Sejak awal datang, saya melihat kakek yang sedang tertidur di dalam rumah, di ruang tamu. Namun saat kami berbincang, beliau langsung bagun, duduk di depan pintu, dan ikut dalam obrolan. Sebuah pelajaran etika yang sangat berharga, apalagi untuk seorang individualis seperti saya.

Karena cuaca di teras rumah cukup terik, nenek menyuruh kami masuk ke dalam rumah (—setelah saya beberapa kali menolak). Saat sudah masuk, duduk, kakek masuk ke dalam kamar, kemudian membawa kipas angin, dan menyambungkannya ke listrik. Beliau berkata, hanya memiliki satu kipas angin, biasa digunakan untuk tidur. Sehingga ketika ada tamu datang, kipas tersebut perlu untuk diangkut.

Lagi, beliau menampar saya, bahwa kita tidak perlu menunggu serba ada, untuk bisa berbuat baik dengan orang lain.

Di rumah tersebut terdapat dua kucing yang sedang tertidur pulas, sepertinya, merekalah yang menjadi teman setia kakek dan nenek. Bahkan, saat kami sedang larut dalam obrolan, kucing tersebut dengan santainya tertidur di bersender di dekat si nenek.

Perbincangan berlanjut membahas tentang asal dan kehidupan sehari-hari beliau berdua. Kakek bilang, beliau merupakan seorang yang sangat mudah berkawan dengan orang lain, sehingga memiliki banyak teman. Sayangnya, pada usia beliau yang sudah setua sekarang, badan beliau yang sudah mulai lemah, dan penglihatan yang tidak lagi bisa melihat begitu jelas, sehingga ketika ada yang menyapa, beliau hanya bisa menyapa balik, tanpa tau siapa orang yang menyapa tersebut.

Sampai ketika obrolan kami membahas tentang rukun kematian yang ada di desa tersebut. Untuk laki-laki membayar sepuluh ribu dan perempuan membayar lima ribu, dibayarkan setiap ada warga yang meninggal dunia.

“Kami tu paling kada beisi duit lima belas ribu”, kata beliau, dugaan saya uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kemudian beliau melanjutkan, “kada bulih digatuk tu pang duit tu. Jadi mun ada urang meninggal, kawa aja membayar gasan membantu urang”.

Bum! Kata-kata tersebut menjelma pukulan telak yang mendarat sempurna di wajah saya. 🙂

Beliau berdua yang sudah tua renta, dengan penghasilan yang dipas-paskan, masih saja memikirkan untuk membantu orang lain. Sedang saya yang masih muda, amat egois, menghitung segalanya dengan angka, bertindak atas dasar untung-rugi, menghabiskan uang untuk keperluan pribadi, sudah, tidak ada orang lain yang saya pikirkan di sana. Bodoh.

Tidak berhenti sampai situ. Beliau juga mewakafkan sebidang tanah untuk pemakaman. Tempatnya strategis, di pertigaan, tepat berseberangan dengan masjid. Kata beliau, agar memudahkan orang untuk berziarah.

Teringat pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana definisi kekayaan sebenar-benarnya.

“Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.”

Sebenar-benar kekayaan itu pada hati yang kemudian termanifestasi pada tindakan.

Soal keduniaan, beliau berdua pernah terpikir untuk merenovasi rumah, namun kata nenek, takutnya rumah belum selesai direnovasi, sementara mereka berdua telah lebih dulu dipanggil pencipta.


Selamat hari raya Idulfitri, Kek, Nek!

Semoga dalam keadaan sehat selalu. Dan ada waktu berkunjung kembali. 🤍

Beliau berdua tinggal Desa Tambak Padi, Kecamatan Beruntung Baru, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.


Diinisiasi pada 25 April 2022 4:56 AM di Banjarmasin.

Diselesaikan pada 2 Mei 2022 6:18 PM di Pelaihari, bertepatan hari raya Idul Fitri 1443 H.