Selepas Kepergian Ayah

Selepas Kepergian Ayah

Zakiego

Zakiego

@zakiego

Seperti dermaga, hidup ini perihal datang dan pergi. Setiap hari, semua terjadi di depan mata. Menyambut kedatangan seorang anak yang lahir ke dunia; melepas kepergian seseorang ke dunia yang lain. Entah kapan waktunya, kita yang akan dilepas kepergiannya.

Sekuat apa pun bersiap untuk melepas kepergian, kita, manusia, tidak akan pernah siap untuk kehilangan.


Dahulu, sewaktu masih anak-anak, saya selalu membayangkan ketika harus berdiri dengan kaki sendiri. Tak ada yang memandu lagi. Menakutkan. Apalagi, untuk anak yang terbilang dimanja dan terlambat dewasa dibanding anak-anak seusia saya.

Waktu bergerak amat cepat. Hari ini. Saya telah berdiri di hadapan rasa takut itu. Dan bergerak melewatinya. Tidak mudah, sama sekali, tetapi seperti itulah hidup bekerja.

Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang. - Buya Hamka


Tahun-tahun itu adalah tahun terberat. Bahkan berturut-turut. Seumpama hujan yang turun lebih dari setahun, tak kunjung reda.

Bahkan, sebelum ayah pergi, saya harus membuat keputusan yang tidak mudah. Keputusan berat dengan banyak pengorbanan. Namun itulah keputusan terbaik dan saya banggakan.

Andai saya memilih skenario sebaliknya, mungkin saya akan menyesalinya sepanjang sisa hidup. Bagaimana tidak, bodoh sekali rasanya, jika saya tidak kunjung berbakti, pada seseorang yang merelakan hidupnya untuk membahagiakan anaknya. Terjaga sepanjang malam hanya untuk memastikan bahwa anaknya akan tumbuh dengan baik. Berpeluh dan bersakit demi tawa kecil yang menghapus lelahnya sepanjang hari.


Anak-anak biasanya dibesarkan dengan petuah-petuah hidup yang diberikan orang tuanya. Terkadang pun juga iri. Tetapi setelah melihat lebih luas, saya bersyukur berada di jalan ini. Bukan, bukan berarti ayah tak pernah memberi petuah, beliau pun mengajarkan banyak hal, namun tidak banyak petuah tentang menjadi dewasa.

Akhirnya, saya mesti merasakan sendiri pahit dan manisnya hidup. Selepas kepergian ayah. Saya memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidup, sekaligus bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Tidak ada tempat berkeluh. Tidak ada tempat untuk menyalahkan seseorang jika pilihan yang diambil keliru, murni kesalahan diri sendiri.

Bukan tidak pernah, bahkan sering saya membuat keputusan yang salah. Jatuh dan merasakan sakitnya sendiri. Perlu sekian waktu hingga akhirnya bisa bangkit. Tetapi, dari luka-luka di sekujur tubuh itulah saya belajar. Rasa perih dan sakit itulah yang membentuk kebijaksanaan saya hari-hari ini.

Kepergian ayah pada usia saya yang ‘baru’ dewasa adalah cara Tuhan untuk lebih cepat membentuk saya menjadi laki-laki. Mengajari perihal tanggung jawab sekaligus menentukan ke mana perahu harus berlayar.


Jika ada yang memarahimu ketika pulang terlalu larut atau kesalahan-kesalahan lainnya, bersyukurlah, sebab itu pertanda bahwa mereka masih ada. Selepas kepergian mereka, kau akan merindukan itu.

Malam itu, ketika mendengar kabar ayah seorang teman yang wafat, saya bergegas mendatanginya. Kemudian setelah bertemu, saya berucap, “Ini hanya tentang waktu. Kita sedang bergantian”. Benar saja, hanya dalam hitungan beberapa tahun, dia yang datang untuk melayat.

Seandainya kematian adalah jurang pemisah yang terbentang selamanya, maka saya akan menjalani sisa hidup dengan kesedihan. Beruntungnya tidak, Tuhan Maha Baik. Kematian hanyalah perpisahan yang sementara. Akan ada pertemuan lagi di alam sana. Semoga Tuhan yang Maha Pengasih mengabulkan. Amin.